Content

Pemimpi waras

Saturday, August 25, 2012
Masa transisi yang telah berjalan kurang lebih 13 tahun bagi kita semua tidak banyak perubahan fundamental yang diinginkan selama ini. Keinginan-keinginan itu antara lain:
  1. Menegakkan demokrasi yang egaliter dan rasional.
  2. Menyeret penjahat-penjahat negara ke pengadilan, baik sipil atau militer.
  3. Penyelesaian krisis ekonomi yang tepat sasaran, yaitu dengan menolak monopoli swasta maupun negara.
Sebab hal itu hanya menguntungkan kelompok yang sangat kuat seperti partai politik besar serta perusahaan besar swasta lokal dan internastional. Persaingan bebas boleh kita anut, tapi tidak berguna bagi kelompok lemah. Kelompok ini masuk ke dalam berbagai kategori. Ia bukan saja kelompok yang punya pendapatan dibawah rata-rata, namun kelompok yang tidak mengerti apa itu masyarakat politik (dalam arti modern). Ketika kelompok ini melakukan (sadar atau tidak sadar) konsumerisme atau hedonisme -cermin dari sifat boros bangsa ini- maka hancurlah sudah mental bangsa ini. Oleh sebab itu, negara harus bertanggungjawab menertibkan serta membimbing mereka dengan baik. Tulisan ini hanya sekadar melihat permasalahan dasar dari bangsa ini.
Pertama, kita semuanya berpotensi menjadi pencuri, sebab selama ini negara lebih menekankan kepada ide-ide kolektivisme, tetapi pada kenyataannya manusia-manusia yang ada didalamnya bersikap individualistik yang tak bertanggungjawab. Mereka hanya memikirkan diri mereka pribadi, keluarga serta kelompoknya. Tapi tanggungjawab mereka dalam kemakmuran untuk bersama tidak ada. Bahkan tidak ada masyarakat egaliter yang kompetitif, melainkan feodalistik. Mereka percaya sepenuhnya kepada penguasa. Gambaran ini merupakan cermin dari masyarakat feodal: bangsa yang kerdil tak lain cermin dari masyarakat feodal. Faktanya ada sebagian orang yang menolak hal itu dan memperjuangkannya. Akan tetapi mereka gagal karena mereka adalah kaum minoritas yang melawan arus mayoritas. Tak sekadar itu, pemecahan masalah yang dilakukan oleh pemerintah diselesaikan dengan senjata, tidak dengan bicara. Hal-hal itulah yang semakin membuat sebagian besar kesadaran masyarakat mengenai tanggungjawab mereka lenyap, baik kepada inidividu, masyarakat, dan negara.
Kedua, maka hal itu pun dimanfaatkan oleh angkatan bersenjata dalam melihat keadaan masyarakat yang ada. Dalam berkuasa (semasa Orde Baru) mereka berhasil mengakumulasi modal secara kapitalistik demi keuntungan kelompok mereka dalam bidang persenjataan dan kesejahteraan anggotanya. Ini terjadi bukan hanya di Indonesia, tapi inilah kecenderungan militer di negara-negara berkembang. Hal itu juga merupakan masalah yang serius menyangkut uang negara. Mereka akan menerapkan segala cara dalam orientasi ekonomi mereka itu, maka kalau dikatakan politik militer adalah politik negara semua itu omong besar. Terlepas siapa yang diajak berbisnis -mafia atau bukan- oleh militer, maka hal itu haruslah memperkuat keuangan mereka. Jadi, walaupun tidak sesuai dengan Sapta Marga seorang prajurit, takkan pernah jadi masalah. Bukankah menurut mereka politik militer adalah politik negara, dan negara adalah eksistensi dari mereka.
Ketiga, bobroknya sistem politik pada masa Soeharto dengan Demokrasi Pancasilanya (1966 – 1998), yang menganut sistem otoritarianisme. Efek positif darinya ialah stabilitas negara cukup terjamin, tapi efek negatifnya kemakmuran hanya dinikmati oleh kelompok-kelompok tertentu yang berada di pusat maupun kelompok yang mendekat ke pusat.
Dulu Soekarno memberikan tempat bagi militer dalam parlemen dan dalam bidang ekonomi. Rakyat dianggap seperti anak-anak dalam sebuah keluarga. Lalu di masa Soeharto lebih ditekankan kepada kestabilan negara melalui cara militer. Kenyataannya hal itu melahirkan tidak ada pengawasan dari rakyat kepada para penguasa. Rakyat hanya bisa menggeleng, mengangguk sesuai komando sang penguasa. Penguasa dianggap sang Ratu Adil yang dianggap bisa memberikan harapan-harapan nyata.
Mengkritik memang mudah, tapi melaksanakannya sulit. Kalau pemerintah berdalih mereka ditinggali sampah oleh rezim sebelumnya, maka pernyataan ini lebih pantas dikeluarkan oleh orang tua yang sempit pikiran dan dadanya. Seribu macam alasan yang ujung-ujungnya pemerintah tidak mampu menyelesaikan masalah hanya dengan waktu lima tahun. Wajar pernyataan ini keluar dari pemerintahan yang melihat suatu masalah dengan seenaknya saja. Ada beberapa sifat dari penyataan itu. Pertama, sifat status quo, bahwa peguasa lebih mengutamakan kelompok pendukungnya. Kedua, sifat oligarkis yang ada di kekuasaan. Keuntungan ekonomi dari kekuasaan dibagi-bagi kepada kelompok-kelompok tertentu pendukung status quo itu. Dan ketiga, sifat alamiah manusia, bahwa lebih mudah mengeluh daripada bekerja untuk rakyat. Faktor-faktor ini akan menentukan arah dari suatu bangsa. Yang pasti penguasa yang dihasilkan dari sifat-sifat tersebut bersifat sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Mereka lebih menekankan kewajiban yang tak pernah henti kepada rakyat. Sedangkan rakyat itu tidak pernah merasakan kewajibannya. Kewajiban yang paling utama dari rakyat itu ialah mengawasi atau menegur penguasa yang salah. Penguasa bukanlah malaikat atau dewa, ia hanyalah manusia yang dapat bertindak subyektif ketika melihat kekuasaannya itu. Dengan kata lain, penguasa bisa menjadi pencuri uang dan kemerdekaan rakyat. Bahkan kalau hal itu sudah pada tingkat obyektifitas sang penguasa, kemungkinan besar terjadi penangkapan, penyiksaan serta pembunuhan yang dilakukan penguasa atas nama negara.
Walaupun begitu, di satu sisi masyarakat juga harus dapat melakukan sesuatu yang konkret bagi terlaksananya kewajiban mereka dengan baik. Pertama, pengawasan itu dilakukan oleh parlemen, maka pilihlah seseorang (anggota-anggota parlemen) yang tidak memiliki kecenderungan ke arah tiga sifat di atas. Masalahnya sangatlah sulit memilih dalam proses pemilihan itu. Kalau diterapkan sistem distrik yang lebih mengutamakan unsur individu dari yang dipilih hal ini lebih baik. Namun dampaknya bisa mempengaruhi akses yang terbatas ke parlemen oleh kekuatan-kekuatan politik yang ada di masyarakat. Jadi, kekuatan-kekuatan politik masyarakat yang ada harus mau menerima kekalahan mereka dan konsekuensinya mereka tidak bisa masuk ke dalam parlemen. Kedua, mengingat yang pertama tidak mungkin dilakukan cara yang harus didahulukan saat ini ialah faktor person sangat menentukan bagi suatu perubahan. Perbaikan sistem memang penting, tapi bagaimana menjaga perubahan ini tidak di tangan kebanyakan orang-orang yang tak bertanggungjawab.
Memang sulit sekali bagi orang Indonesia melaksanakan praktek yang sesuai dengan teori. Muhammad Natsir pernah menyangkal kepusingan Presiden Soekarno di tahun 1956 akan partai-partai politik pada masa Demokrasi Parlementer (1950 – 1959), yang dianggapnya menimbulkan krisis serta menghancurkan hasil revolusi nasional. Natsir berargumen tidak tepat menumpahkan kesalahan kepada banyaknya partai-partai yang ada. Masalah yang sedang dihadapi itu disebabkan oleh tiga hal: 1) Telah melunturnya idealisme, sehingga yang merajalela nafsu amarah. 2) Tidak jelasnya batas antara yang patut dan yang tidak patut; yang halal dan yang haram. 3) Kaburnya nilai-nilai keadilan obyektif, yaitu yang hitam diputihkan dan yang putih dihitamkan. Serta tidak dianutnya prinsip the right man in the right place. Argumen Natsir yang lebih diarahkan kepada para pejabat negara ini pantas untuk dihayati bersama-sama pada saat sekarang.
Setalah 66 tahun Indonesia merdeka, masih saja elit sipil sekarang lebih mengandalkan hiperpragmatisme dibandingkan ucapan mereka ketika rezim Orde Baru tumbang dan digelarnya pemilu demokratis pertama pada tahun 1999, dimana semangat memperbaiki bangsa dan negara begitu menggelora. Bahkan privatisasi badan negara yang menyangkut hajat hidup orang banyak dilakukan oleh pemerintah. Jangankan di negara berkembang, di negara maju pun hal itu dianggap penyimpangan moral penguasa dalam mensejahterakan rakyatnya. Buruknya lagi mereka itu adalah orang-orang yang menganggap seorang nasionalis tulen mengatasnamakan rakyat berhasil menipu rakyat yang memang tidak mengerti pikiran simplitis dari para wakilnya serta pemimpinnya. Pikiran simplitis itu ialah uang untuk menghadapi pemilu dan modal bagi kekuasannya.Yang ada saat ini Indonesia terjerat dalam rezim elektokrasi dan politisi-politisi berwatak elektokrat, omong kosong sebuah idealisme!
Seluruh negara di dunia ini yang menganut sistem demokrasi modern sudah hampir dipastikan menyelenggarakan Pemilihan Umum (pemilu) sebagai sarana pengejawantahan suara rakyat dalam suksesi kepemimpinan, baik eksekutif maupun legislatif. Sesuai dengan konstitusi masing-masing negara, berapa kali pemilu itu diselenggarakan dalam setiap suksesi kepemimpinan, sistem pemilu serta sistem partainya dan lain-lain.
Pemilu dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah proses pemilihan orang(-orang) untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa.
Namun demikian, yang terpenting adalah pemilu sebagai salah satu pilar demokrasi, dalam konteks Indonesia kini, mampukah menjaring pemimpin-pemimpin berkualitas yang tentu harus setidaknya mempunya beberapa kriteria yakni, mempunyai integritas, kompetensi, kredibilitas, visioner, dan lain-lain, baik dari eksekutif: Presiden, Gubernur hingga bupati/walikota dan legislatif: dari tingkat DPR RI hingga DPRD Provinsi sampai Kabupaten/Kota? Serta dapat membawa perubahan mendasar yang menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat? Oleh karena, suksesi kepemimpinan melalui proses elektoral terima atau tidak terima, adalah sebuah konsensus nasional yang tegas diamanatkan dalam konstitusi kita sebagai negara demokrasi konstitusional, yang wajib ditaati oleh setiap warganegara.
Adalah wajar adanya mempersiapkan sebuah figur kepemimpinan dari jauh-jauh dari hari sebelum pemilihan umum, dimaksudkan masyarakat tidak dalam keadaan mengambang tanpa arah. Juga bagi keefektifan kualitas pilihan masyarakat, menampilkan, memperkenalkan, figur-figur kepemimpinan kepada masyarakat dari jauh-jauah hari, semakin menguji sampai sejauhmana kualitas para calon yang akan mengikuti kontestasi politik elektoral nanti.
Sekarang apakah bisa diharapkan akan muncul kesejahteraan yang merata sesuai amanat dari UUD 1945 bila negara di isi oleh orang-orang yang tak bertanggunjawab melalui sebuah suksesi kepemimpinan bernama pemilu, jika semua pemimpinnya berwatak elektokrat, mikirin bagaimana caranya menang dalam kontestasi demokrasi lima tahunan, modalnya darimana dan sebagainya? Itu-itu aja terus yang ada di otaknya, sedang masalah rakyat, ntar deh. Cita-cita menuju civil society yang beradab dengan menolak kanibalisme politik tidaklah usah ragu untuk mengambil kebenaran darimana pun asalnya. Kebenaran bukanlah monopoli suatu kaum, begitu Natsir bilang. Dimana saja ia berada, maka ambilah ia dengan selektif dan kritis. Oleh sebab itu bangsa ini harus mencontoh keterpurukan suatu kaum akibat meremehkan kelompok lemah tak berdaya, jangan sampai negeri ini terjerumus ke dalam rezim elektokrasi yang berisi para elektokrat-elektokrat yang hanya memikirkan bagaimana caranya mempertahankan status quo, menang dalam pemilu, pencitraan diri atau partainya dan sebagainya.

0 comments:

Post a Comment

SN PRODUCTION

Berita Hukum dan Kriminal

HUKUM

Berita Sosial

SOSIAL

Baca Juga Ini

SERBA-SERBI

RAGAM

Berita Bola

OLARAGA

Berita Politik

POLITIK

Berita Bisnis

BISNIS

Info Bola

Recent Post

Random Post

INFO LAINNYA

Motor GP

Motor GP

Tiket Pesawat

Powered by Blogger.

Popular Posts

About Me

About Us

make
just make a gif here