Kenapa Jokowi Menang dan Foke Kalah?
Pesta
demokrasi rakyat DKI Jakarta akhirnya terselenggara jua. Kamis (20/9)
hajatan terbesar kota multietnis ini berjalan dengan lancar dan damai
demikian dilontarkan oleh kedua kandidat Fauzi Bowo – Nachrowi Ramli dan
pasangan Joko Widodo – Basuki Tjahaja Purnama usai putaran kedua
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI di media televisi nasional.
Menariknya hasil perolehan suara dapat langsung diketahui masyarakat
Indonesia melalui hitung cepat (Quick Count) yang dilakukan oleh
beberapa lembaga survey.
Pilkada DKI putaran kedua yang menyisakan pasangan Foke – Nara dan Jokowi – Ahok ini
bukan hanya menjadi pertarungan politik parta-partai besar di
Indonesia. Sosok kedua pasangan Cagub-Cawagub ini menjadi sangat
fenomenal di setiap pemberitaan di media massa hingga perbincangan di
media sosial. Branding kemeja kotak-kotak Jokowi
– Ahok dikonsep dengan baik oleh tim sukses kampanye. Dan pengalaman
memimpin Jakarta disimbolkan dengan kegagahan kumis milik Foke – Nara.
Dari
hasil hitung cepat yang dilakukan Indo Barometer yang dilansir oleh
Metro TV pasangan kotak-kotak Jokowi – Ahok mengungguli Foke – Nara. Dari 300 sampel sebagai representasi 15.059 Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang tersebar di seluruh DKI Jokowi Ahok berada pada peringkat pertama perolehan suara sebanyak 54,11% unggul 8,22% dari rivalnya Foke – Nara yang harus puas dengan perolehan 45,89% suara. Pertanyaannya apakah yang mendongkrak perolehan
suara pasangan Jokowi – Ahok yang didukung oleh partai PDIP dan
Gerindra ini ? Suaramuda.com mencoba untuk menggali lebih dalam
wawancara dengan akademisi Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanegara, Suzy Azeharie.
Dari
hasil wawancara tersebut Suzy mengatakan ada banyak faktor yang
mendukung kemanangan Jokowi – Ahok pada putaran kedua ini. Penampilan
bersahaja dengan tutur kata sederhana dari seorang Jokowi rupanya mudah
dimengerti oleh semua kalangan masyarakat DKI. “Baju kotak-kotak simpel”
ujar Suzy. Beda halnya dengan pasangan Foke-Nara yang menonjolkan
penampilan yang elitis dengan memakai jam dada emas dan wajah yang
terkesan angkuh.
Selain
itu Suzy melanjutkan “orang Indonesia itu cenderung memilih orang yang
terlihat dizalimi" lihat saja SBY yang menang Pilpres 2004 karena
masyarakat terenyuh dengannya lantaran sebagai Menteri yang “didiamkan”
oleh Megawati kala itu. Ketika Jokowi menghadapi kampanye hitam yang
insinuatif,masyarakat justru lebih simpatik dan
merasa kasihan kepada pasangan Jokowi – Ahok yang diterpa isu berbau
SARA. Demografi penduduk DKI yang multietnis dan banyaknya kalangan
terpelajar kelas menengah dinilai cerdas dalam mengolah informasi yang
di dapat dari media.
Faktor
lain yang tak kalah penting adalah pesimisme masyarakat dengan kondisi
negara yang semakin carut-marut karena dipegang oleh kekuasaan
yang cenderung korup dan pemimpin yang lemah. Kandidat Incumbent
dipandang sebagai personifikasi dari penguasa elit yang bertanggung
jawab terhadap kondisi negara ini. Dapat diduga masyarakat kemudian
menilanya sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas kemunduran
yang terjadi.
Suzy
menjelaskan bahwa masyarakat mungkin melakukan “balas dendam” kepada
partai politik yang dianggap sebagai sumber korupsi dan kesemrawutan
politik Indonesia. Pasangan incumbent yang didukung oleh Partai Demokrat
akhirnya dipukul mundur oleh hak politik warga DKI. Masyarakat pada
akhirnya merindukan sosok pemimpin yang amanah dan membawa perubahan.
"Sosok Jokowi – Ahok yang sederhana dan mewakili keberagaman masyarakat
menjadi representasi pemimpin yang didambakan oleh semua kalangan" ujar
Suzy menutup. (DK/Hexo)
0 comments:
Post a Comment